Beranda | Artikel
Tentang Bermadzhab
Sabtu, 7 Februari 2015

PENGAGUANGAN KUBUR DALAM PANDANGAN KAUM SUFI

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-atsary

Pengkultusan makam yang dianggap keramat, seperti makam orang yang dianggap wali, telah mewabah di tengah-tengah kaum Muslimin. Sering kita dengar orang-orang yang pergi berombongan seperti hendak menunaikan ibadah haji melakukan perjalanan wisata rohani, yaitu berziarah ke makam-makam tertentu.

Saking besarnya cinta mereka kepada makam-makam tersebut hingga mereka rela mempertahankan makam-makam yang dianggap keramat itu walaupun harus menumpahkan darah. Seperti yang terjadi pada tragedi berdarah Tanjung Priok, berawal dari sengketa tanah di area pemakaman Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad alias Mbah Priok, di Jakarta Utara, (29 Rabi’uts Tsani 1431), berubah menjadi pertikaian berdarah. Lebih dari seratus orang, baik dari warga maupun petugas Satpol PP dan Polisi mengalami luka-luka, bahkan jatuh korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Menurut ceritanya, pada abad ke-18, Mbah Priok dikenal sebagai juru dakwah kepada Islam di Batavia. Ia sangat dihormati sehingga sekarang kuburannya pun kerap diziarahi.

Ini merupakan bukti bahwa pengagungan kubur telah menjadi sebuah fitnah yang mengancam aqidah kaum Muslimin.

Perlu untuk diketahui, pengagungan terhadap kubur ini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam ajaran tasawwuf. Makam dan perkuburan telah menjadi salah satu tempat ibadah bagi mereka, tempat berdoa dan berdzikir. Terlebih lagi makam-makam wali yang mereka anggap keramat. Ngalap (mencari) berkah di situ sudah menjadi bagian dari ritual mereka. Maka bermunculanlah makam-makam keramat yang dijadikan sebagai tempat ziarah dan ibadah. Sebut saja misalnya makam wali songo, makam-makam para pendiri tarikat dan tuan guru, makam-makam para tokoh yang dianggap memiliki kelebihan, bahkan makam-makam yang tidak jelas siapa yang dikuburkan disitu.

Banyak sekali kisah-kisah yang mereka bawakan dalam buku-buku mereka yang menceritakan bagaimana pendahulu mereka menjadikan kubur sebagai tempat munajat.

Kaum sufi menukil dari ‘Atha’ as-Sulami bahwa apabila tiba malam hari, ia keluar menuju perkuburan untuk bermunajat kepada para penghuni kubur hingga terbit fajar.[1]

Asy-Sya’rani menukil kisah ar-Rabie’ bahwa setiap malam ia keluar ke perkuburan dan mengerjakan ibadah semalam suntuk di sana.[2]

Kisah lain tidak jauh beda dengan sebelumnya dari Ali Sirjâni bahwa pada suatu hari ia berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla di makam Syuja’uddin al-Kirmâni agar mendatangkan seorang tamu ke rumahnya untuk makan bersamanya. Tidak lama kemudian datanglah seekor anjing ke rumahnya. Demi dilihatnya seekor anjing langsung saja diusirnya anjing itu. Lalu bergemalah sebuah suara, “Tadi engkau meminta seorang tamu, namun begitu tamu itu datang langsung saja engkau usir?!” Iapun sangat bersedih dan segera ia cari anjing itu. Ia temukan anjing itu di sebuah lapangan. Iapun menyodorkan makanan kepada anjing itu. Namun anjing itu enggan memakannya. Melihat itu iapun bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Tiba-tiba anjing itu berbicara, “Sungguh baik tindakanmu itu ya syaikh! Sekiranya engkau memintanya bukan di makam Syaikh Syuja’uddin niscaya engkau akan merasakan adzab yang sangat pedih ![3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan dalam kitab Majmû’ Fatâwâ sebagai berikut:
“Tempat-tempat yang biasa dipilih untuk berkhalwat tersebut biasanya jauh dari masjid dimana kaum Muslimin menunaikan shalat lima waktu secara berjama’ah, sehingga seruan adzân dan iqâmat tidak terdengar sampai ke sana. Di tempat yang terpencil seperti gua-gua di lembah gunung dan tempat lain semacam itu. Atau di makam-makam, terutama tempat yang ditengarai sebagai makam nabi atau orang shalih. Oleh sebab itu sering terjadi tipu daya-tipu daya syaithaniyah atas mereka di tempat itu yang mereka kira hal itu merupakan karamat rahmaniyah.”[4]

ad-Dabbagh juga menukil ucapan seorang sufi sebagai berikut, “Aku berada di makam guruku hingga larut malam. Aku menangis karena saking cinta kepadanya dan karena berpisah dengannya. Aku bermalam di makamnya dan kesedihanku semakin memuncak hingga terbit fajar. Tiba-tiba nabi Khidir Alaihissallam datang dan mengajarkan dzikir kepadaku.”[5]

Padahal, pengagungan terhadap kubur ini termasuk kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani.

Imam al-Bukhâri dan Muslim juga meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa ia berkata, “Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati ajalnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupkan kain di wajahnya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam singkap kembali kain itu ketika terasa menyesakkan nafas. Ketika dalam keadaan demikian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى اليَهُوْدِ وَ النَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga laknat Allâh Azza wa Jalla ditimpakan atas orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar umatnya menjauhi perbuatan itu. Sekiranya bukan karena laknat tersebut, niscaya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di luar (kamar beliau). Namun dikhawatirkan orang-orang akan menjadikan makam beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tempat ibadah.”[6]

Imam al-Ghazzali rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya mengusap-usap dan menciumi kuburan merupakan adat istiadat kaum Yahudi dan Nasrani.”

Imam Syâfi’i rahimahullah menegaskan bahwa beliau rahimahullah melarang pengagungan kubur karena khawatir fitnah dan kesesatan. Maksud beliau rahimahullah dengan pengagungan kubur yaitu shalat dan berdoa di sisinya.[7]

DARIMANAKAH ASAL-USUL PENGAGUNGAN KUBUR INI?
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Orang yang pertama kali menyusupkan bid’ah pengagungan kubur ialah dinasti ‘Ubaidiyah di Mesir, Qarâmithah dan Syi’ah.”[8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengenal (adanya riwayat) dari seorang pun Sahabat Nabi, generasi Tabi’i maupun seorang imam terkenal yang memandang disunnahkannya mendatangi kuburan untuk berdoa (kepada penghuni kubur, red). Tidak ada seorang pun meriwayatkan sesuatu tentang itu, baik (riwayat) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Sahabat maupun dari seorang imam yang terkenal.”

Beliau rahimahullah melanjutkan, “Kemunculan dan penyebarannya ketika pemerintahan Bani ‘Abbâsiyah melemah, umat saling berpecah-belah, banyak orang zindiq yang mampu memperdaya umat Islam, slogan ahli bid’ah menyebar. Yaitu, pada masa pemerintahkan al-Muqtadir di penghujung tahun 300 hijriyah. Pada masa itu, telah muncul Qarâmithah ‘Ubaidiyah di Marokko. Kemudian mereka menginjakkan kaki di negeri Mesir…”.

Mereka membangun kompleks pemakaman ‘Ali Radhiyallahu anhu di Najef, padahal sebelumnya, tidak ada seorang pun yang mengatakan makam ‘Ali Radhiyallahu anhu berada di sana. Sebab ‘Ali Radhiyallahu anhu dikuburkan di lingkungan istana di kota Kufah. Tujuan mereka ialah mengobrak-abrik ajaran Islam yang berasaskan tauhid (pengesaan Allâh Azza wa Jalla dalam ibadah). Selanjutnya, mereka memalsukan banyak hadits perihal keutamaan menziarahi pemakaman, berdoa dan shalat di sana. Orang-orang zindiq ini dan para pengikutnya lebih menghormati dan mengagungkan tempat-tempat pemakaman, daripada masjid-masjid[9]

PENGKULTUSAN KUBUR DARI ZAMAN KE ZAMAN
Awal mula munculnya fitnah ini, terjadi pada kaum Nabi Nuh Alaihissallam , sebagaimana disebutkan oleh Allâh Azza wa Jalla :

قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا ﴿٢١﴾ وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا ﴿٢٢﴾ وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا ﴿٢٣﴾ وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا ۖ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا

“Nuh berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan mereka telah melakukan tipu daya yang amat besar”. Mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Sungguh mereka telah menyesatkan banyak manusia. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang zhalim (yakni orang-orang musyrik) itu melainkan kesesatan,” [Nûh/71:21-24]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu dalam riwayat Imam al-Bukhâri mengatakan, “Nama-nama sesembahan tersebut adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh Alaihissallam . Ketika orang-orang shalih itu mati, muncullah setan membisikkan kepada manusia, “Buatlah patung-patung mereka di majelis-majelis kalian dan namakanlah dengan nama-nama mereka!” Manusia pun melakukan hal tersebut namun masih belum disembah, sampai tatkala mereka meninggal dan ilmu semakin dilupakan, pada akhirnya patung-patung itupun disembah.”

Fitnah pengagungan kuburan terus berlangsung dari masa ke masa. Termasuk di kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani), yang menyebabkan mereka mendapat laknat dari Allâh Azza wa Jalla .

al-Bukhâri dan Muslim di dalam kitab shahîh keduanya meriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menceritakan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang ia lihat di gereja Maria di negeri Habasyah (Ethopia) yang di dalamnya terdapat gambar-gambar atau patung-patung. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka (Yahudi dan Nashara), bila ada seorang shalih diantara mereka meninggal, maka mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat patung-patung (monumen-monumen) ataupun gambar-gambar orang shalih tersebut di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allâh.”[10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus pada saat bangsa Arab terfitnah dengan penyembahan patung orang-orang shalih yang dibangun di atas kuburan mereka atau disekitar Ka’bah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ ﴿١٩﴾ وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ ﴿٢٠﴾ أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَىٰ ﴿٢١﴾
تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَىٰ

Apakah patut kamu (wahai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata, al-’Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allâh Azza wa Jalla ). Apakah patut untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allâh anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. [an-Najm/53:19-22]

al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, al-Bukhâri mengatakan, “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu tentang firman Allâh Azza wa Jalla “al-Latta dan al-’Uzza.”. al-Latta adalah seorang lelaki yang suka membuat adonan roti dari gandum untuk para jamaah haji.[11]

Setelah lelaki ini wafat, manusia beri’tikaf di atas kuburnya kemudian merekapun menjadikannya sebagai berhala yang disembah.

Kita bisa menyaksikan bahwa fitnah kubur ini juga ditemukan pada agama-agama lain seperti Hindu, Budha, Konghuchu, Shinto, agama-agama paganis Yunani dan kepercayaan-kepercayaan lainnya.

PENGKULTUSAN KUBUR DI KALANGAN KAUM SYI’AH DAN KAUM SUFI
Pengkultusan kubur dan ziarah ke makam-makam dan tempat keramat merupakan salah satu rukun keyakinan Syi’ah. Kaum Syi’ahlah yang pertama kali membangun kubah-kubah di atas kubur lalu menjadikannya sebagai simbol mereka seperti yang telah dijelaskan di atas.[12]

Lalu kaum sufi ikut menjadikan ziarah kubur, membangun kubah di atas kubur, thawaf mengelilinginya, mencari berkah dengan mengelus-elus batunya dan memohon pertolongan kepada penghuninya sebagai syiar mereka. Oleh sebab itu mereka mengklaim makam Ma’rûf al-Karkhi salah seorang tokoh besar sufi sebagai obat penawar yang mujarab.[13]

HUBUNGAN ERAT ANTARA SUFI DAN SYI’AH
Ini adalah salah satu bukti kedekatan dan hubungan erat antara tasawwuf dan Syi’ah. Satu hipotesa yang telah dibenarkan oleh pakar sejarah seperti Ibnu Khaldun rahimahullah , ia berkata, “Generasi akhir kaum sufi yang berbicara tentang kasyaf dan alam batin larut dalam pembicaraan masalah tersebut. Sampai akhirnya banyak diantara mereka yang jatuh dalam keyakinan hulûl (manunggaling kawula gusti) dan wihdatul wujûd sebagaimana yang telah kami isyaratkan tadi. Halaman-halaman buku mereka penuh dengan pembahasan masalah ini. Contohnya al-Harawi dalam kitab al-Maqâmat dan lainnya. Lalu diikuti oleh penulis-penulis lainnya seperti Ibnu Arabi[14] dan Ibnu Sab’in serta murid-murid mereka, seperti Ibnul ‘Afîf, Ibnul Faridh dan an-Najm al-Isrâ-ili dalam kasidah-kasidah mereka. Generasi awal mereka bercampur baur dengan kaum mutaakhirin pengikut Ismâ’iliyah dari kalangan Syi’ah Rafidhah yang juga menganut keyakinan hulûl dan menuhankan imam-imam mereka, keyakinan yang tidak dikenal oleh generasi terdahulu mereka. Kedua belah pihak saling bertukar keyakinan. Perkataan-perkataan merekapun jadi bercampur baur satu sama lain. Pada akhirnya keyakinan merekapun laksana pinang dibelah dua. Muncul istilah wali quthb dalam kamus kaum sufi yang maknanya adalah pemimpin ahli ma’rifat. Menurut keyakinan mereka tidak ada seorang pun yang dapat menyamai kedudukannya dalam ilmu ma’rifat sampai Allâh Azza wa Jalla mewafatkannya kemudian kedudukannya diganti oleh orang lain. Ibnu Sina telah mengisyaratkan hal ini dalam kitabnya berjudul al-Isyârat pada pasal tasawwuf, ia berkata, “Menitisnya Dzat ilahi adalah dengan menurunkan syariat kepada siapa saja yang datang atau menampakkan syariat kepadanya kecuali satu atau dua orang saja. Perkataan seperti itu tidak didukung argumentasi akal maupun dalil syar’i. Itu tidak lain hanyalah salah satu bentuk pernyataan yang diucapkan oleh kaum Rafidhah dan orang yang menganut faham mereka. Kemudian mereka meyakini adanya wali abdal setelah wali quthb ini persis seperti yang diyakini oleh kaum Syi’ah tentang imam-imam penerus. Sampai-sampai ketika mereka mengenakan pakaian khas kaum sufi untuk dijadikan sebagai simbol tarikat dan ciri khas, mereka nisbatkan kepada Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu . Hal ini semakna dengan yang di atas (yakni tidak didukung argumentasi dan dalil). Sebab Ali Radhyiallahu anhu tidaklah teristimewa daripada sahabat lainnya karena ciri atau cara berpakaian tertentu ataupun harta. Bahkan Abu Bakar Radhiyallahu anhu adalah orang yang paling zuhud setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling banyak ibadahnya. Tidak ada seorang sahabat pun yang memiliki kekhususan tertentu sehingga lebih diutamakan dari sahabat lainnya. Bahkan seluruh sahabat adalah teladan yang baik dalam agama, kezuhudan dan mujâhadah. Bukti lainnya adalah perkataan kaum sufi tentang anak keturunan Fathimah Radhiyallahu anhuma yang banyak memenuhi halaman buku-buku mereka padahal kaum sufi terdahulu tidak menyinggungnya sedikit pun. Perkataan tersebut mereka adopsi dari perkataan kaum Syi’ah Rafidhah dalam buku-buku mereka. Hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang kuasa memberi petunjuk kepada kebenaran.”[15]

Dr.Kamil asy-Syiibi telah menulis sebuah buku tentang hubungan erat antara tasawwuf dan ajaran Syi’ah dengan membawakan bukti-bukti sejarah.

Hubungan erat ini tidak hanya sebatas dalam perkataan-perkataan saja, tetapi juga dalam perbuatan. Keduanya sama-sama berusaha merubuhkan Daulah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Keduanya secara tulus hati bekerja sama dengan musuh-musuh Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Keduanya bersama-sama membongkar pertahanan kaum Muslimin.

Gerakan batiniyah telah mengobok-obok daulah Islam pada zaman kekhalifahan Bani Abbâsiyah. Mereka berhasil memecah belah wilayah-wilayahnya dan menyebarkan paham zindîq dan ilhâd sampai akhirnya Shalâhuddin al-Ayyûbi muncul membabat habis sisa-sisa Majusi dan mengembalikan daulah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah kepada kaum Muslimin lalu usahanya tertuju kepada pembersihan negeri-negeri Islam dari kaum salibis. Akan tetapi kaum Rafidhah senantiasa menggali lubang menunggu mangsa sampai akhirnya Khawaja an-Nâshir ath-Thûsi bersama Ibnu al-Alqami dan penasehatnya, Ibnu Abil Hadîd, memuluskan jalan tentara Tartar untuk menyerang Baghdad, ibukota kekhalifahan Bani Abbasiyah. Mereka meluluhlantahkan negeri kaum Muslimin, membunuh kaum Muslimin dalam jumlah yang sangat besar, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang dapat menghitung jumlahnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kaum mulhid (orang yang penyimpang-red) pengikut ajaran Ismâ’iliyah dan Nushairiyah serta pengikut paham batiniyah lainnya merupakan pintu masuk bagi musuh-musuh Islam. Musuh-musuh kaum Muslimin dari kalangan kaum musyrikin dan Ahli Kitab dapat menguasai kaum Muslimin berkat bantuan mereka. Yang akhirnya mereka dapat menguasai negeri-negeri Islam, menawan para wanita Muslimah, menjarah harta benda dan menumpahkan darah orang yang tidak berdosa. Umat telah merasakan berbagai kerusakan karena bantuan mereka terhadap orang kafir, baik kerusakan dien maupun dunia mereka. Hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang tahu kadar kerusakan itu!”[16]

Beliau rahimahullah melanjutkan, “Itulah keadaan ahli bid’ah yang menyelisihi al-Qur’ân dan as-Sunnah. Mereka hanyalah mengikuti persangkaan dan hawa nafsu. Mereka diliputi kejahilan dan kezhaliman. Terutama kaum Rafidhah. Mereka adalah ahli bid’ah yang paling jahil dan paling zhalim. Mereka memusuhi wali-wali Allâh Azza wa Jalla yang terbaik setelah para nabi, yang berasal dari generasi pertama umat ini dari kalangan Muhâjirin dan Anshâr serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik, Radhiyallâhu ánhum wa radhuu ‘anhu. Mereka justru loyal kepada orang-orang kafir dan munafik, kepada orang-orang Yahudi, Nasrani, kaum musyrikin dan berbagai macam kaum mulhid, seperti Nushairiyah, Isma’iliyah dan orang-orang sesat lainnya. Kita dapati mereka atau mayoritas mereka, apabila menghadapi dua orang yang saling berselisih tentang Rabb, yang satu Mukmin dan yang lain kafir, atau saling berselisih tentang ajaran yang dibawa para nabi, ada yang beriman dan ada yang kafir (baik perselisihan itu dengan perkataan atau pun perbuatan misalnya peperangan-peperangan yang terjadi antara kaum Muslimin dengan ahli kitab atau kaum musyrikin) maka engkau pasti dapati mereka selalu bersama kaum musyrikin dan Ahli Kitab dalam menghadapi kaum Muslimin !

Hal ini telah terbukti beberapa kali. Mereka selalu membantu kaum musyrikin dari bangsa Turki dan lainnya untuk mengalahkan kaum Muslimin di Khurasaan, Iraq, Jazirah Arab, Syam dan negeri lainnya. Mereka selalu membantu kaum Nasrani untuk mengalahkan kaum Muslimin di Syam, Mesir dan negeri lainnya. Hal itu terjadi berulang kali dalam beberapa kali peristiwa besar yang menimpa kaum Muslimin pada abad keempat dan ketujuh hijriyah. Ketika tentara kafir dari bangsa Turki berhasil menaklukkan negeri-negeri Islam dan membunuhi kaum Muslimin dalam jumlah yang sangat besar, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang tahu berapa jumlahnya. Pada waktu itu merekalah yang paling besar permusuhannya terhadap kaum Muslimin dan yang paling banyak memberi bantuan kepada orang-orang kafir. Demikian pula bantuan yang mereka berikan kepada kaum Yahudi bukanlah rahasia lagi. Sehingga orang-orang menjuluki mereka seperti keledai !?[17]

Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Kaum zindiq[18] itu menutupi diri dengan baju Rafidhah. Mereka menyembunyikan keyakinan ilhâd (menyimpang-red) dan menisbatkan diri kepada ahli bait Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedang ahli bait beliau berlepas diri dari mereka. Mereka membunuhi ahli ilmu dan iman serta membiarkan kaum mulhid, musyrikin dan orang kafir. Mereka tidak mengharamkan perkara haram dan tidak menghalalkan perkara halal. Pada zaman mereka dan tokoh utama merekalah yang mengarang risalah Ikhwanus Shafa.

Ketika kepemimpinan berpindah ke tangan pembela syirik, kekufuran dan ilhad, wazir kaum mulhid, Nashir ath-Thûsi, saat menjabat sebagai menteri Hulaku Khan, ia melampiaskan dendam kesumatnya terhadap pengikut Rasul dan kaum Muslimin. Ia memerintahkan supaya mengeksekusi kaum Muslimin demi memuaskan kawan-kawannya, kaum mulhid, dan demi memuaskan dirinya sendiri. Ia memerintahkan untuk membunuh khalifah, para qadhi, ahli fiqh dan ahli hadits serta membiarkan ahli filsafat, ahli nujum, paranormal dan tukang sihir. Ia memindahkan seluruh wakaf-wakaf madrasah dan masjid kepada mereka serta menjadikan mereka sebagai orang-orang dekatnya. Dalam buku-bukunya ia mendukung kekekalan alam dan ketiadaan hari berbangkit. Ia juga mengingkari sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , mengingkari ilmu, qudrat, hayat, pendengaran dan penglihatan Allâh Azza wa Jalla . Ia meyakini bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak di dalam alam dan tidak pula di luar alam. Menurutnya di atas Arsy tidak ada ilah yang diibadahi.

Ia membuka madrasah-madrasah untuk kaum mulhid dan berusaha menjadikan kitab Isyârat karangan imam kaum mulhid, Ibnu Sina, sebagai pengganti al-Qur’ân. Syukurlah ia tidak berhasil mewujudkannya. Ia berkata, “Kitab Isyârat Ibnu Sina adalah al-Qur’ân bagi kalangan khusus sementara al-Qur’ân yang beredar adalah bagi kalangan umum. Ia juga berusaha merubah waktu-waktu shalat, ia ingin memangkas waktu shalat fardhu menjadi dua waktu saja, namun itupun tidak berhasil. Di akhir hayatnya ia mendalami ilmu sihir. Ia adalah seorang tukang sihir dan menyembah berhala ….. Kesimpulannya orang mulhid yang satu ini dan para pengikut-pengikutnya adalah orang-orang yang kafir kepada Allâh Azza wa Jalla , Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Hari Akhirat.”[19]

MUSUH-MUSUH ISLAM MEMANFAATKAN PENGAGUNGAN KUBUR SEBAGAI ALAT UNTUK MENJAJAH NEGERI-NEGERI KAUM MUSLIMIN
Sudah barang tentu, orang-orang kafir mengetahui hal ini dan mereka manfaatkannya dalam aksi-aksi penjajahan mereka. Mushtafa Kâmil, pahlawan nasional Mesir menyebutkan dalam bukunya berjudul al-Mas’alah asy-Syarqiyyah (Problematika Bangsa Timur) sebuah kisah yang sangat aneh. Ia berkata, “Salah satu kisah populer yang terjadi sewaktu Perancis menguasai kota Qairawaan Tunisia bahwa seorang lelaki berkebangsaan Perancis masuk Islam dan menyebut dirinya Sayyid Ahmad al-Hâdi. Ia berupaya keras menguasai ilmu syariat sampai akhirnya meraih derajat yang tinggi lalu ditunjuk sebagai imam masjid agung Qairawân.

Ketika tentara Perancis hampir mendekati kota dan penduduknya sudah bersiap-siap mengadakan perlawanan untuk mempertahankannya, mereka mendatangi Sayyid Ahmad ini lalu meminta kepadanya supaya meminta pertimbangan ke makam Syaikh di Masjid yang mereka yakini keramat. Sayyid Ahmad memasuki makam Syaikh tersebut. Tidak lama kemudian ia keluar dan menakut-nakuti mereka dengan bencana yang bakal menimpa mereka. Ia berkata kepada mereka, “Syaikh menyarankan agar kalian menyerahkan diri ! Karena penaklukan kota ini adalah sebuah ketetapan yang tidak bisa diganggu gugat !

Orang-orang jahil itupun mengiyakan perkataannya dan tidak mengadakan perlawanan sedikitpun untuk mempertahankan kota Qairawân. Tentara Perancis menguasai kota dengan aman pada tanggal 26 Oktober 1826 M. Bukanlah suatu hal yang baru bila sejak awal kaum sufi telah menciptakan manuver-manuver politik yang membahayakan.[20]

BISAKAH ORANG MATI MEMBERIKAN MANFAAT?
Pengagungan kubur ini tidak terlepas dari keyakinan sesat bahwa orang yang sudah mati dapat memberi manfaat kepada orang yang hidup, dapat menjadi perantara antara mereka dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dapat mendengar doa mereka dan menyampaikannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Padahal orang yang sudah mati tidak akan bisa lagi berhubungan dengan orang yang masih hidup, baik berbicara ataupun mendengar seruan orang yang memanggil. Bahkan inilah salah satu bentuk kemusyrikan orang-orang kafir Quraisy, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allâh Azza wa Jalla -lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allâh (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allâh Azza wa Jalla dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allâh akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. [az-Zumar/39:3]

Dalam ayat lain Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ ۚ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ ﴿١٣﴾ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
Dan orang-orang yang kalian sembah selain Allâh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruan kalian, dan kalaupun mereka mendengarnya mereka tiada dapat memperkenankan permintaan kalian dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian…… [Fâthir/35:13-14]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ

Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allâh memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar. [Fathir/35:22].

BENTUK-BENTUK PENGAGUNGAN KUBUR
Fitnah pengagungan kubur ini juga berpangkal dari sikap berlebih-lebihan dalam pengkultusan orang-orang shalih. Inilah yang menyeret mereka kepada fitnah tersebut

DIANTARA BENTUK-BENTUK PENGAGUNGAN KUBUR ADALAH
1. Mendirikan bangunan di atasnya, menyemennya, mencat dan membuat pagar yang mengelilinginya.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tahdzîr as-Sâjid (hlm. 9-20) membawakan hadits-hadits yang semuanya melarang membuat bangunan di atas kuburan. Diantaranya :

a. Hadits Jâbir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu :

نَهَىرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengapur kuburan, duduk di atasnya dan membuat bangunan (mengkijing dan semisalnya) di atasnya. [HR. Muslim, 3/62]

b. Hadits Ali Radhiyallahu anhu, dari Abu Hayyaj al-Asadi trahimahullah, ia berkata :

قاَلَ ليْ علِيُّ بْنُ أَبِيْ طاَلِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى ماَ بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَنْ لاَتَدَعَ تِمْثاَلاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفاً إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata kepadaku, ‘Maukah engkau aku utus mengemban tugas yang Rasûlullâh telah mengutusku dengannya ? (Yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan kamu ratakan.” [HR. Muslim]

Kalau kita melihat sekarang, jarang sekali kuburan yang bersih dari bangunan, pengapuran, penerangan (lampu), bahkan ada yang dipasang tirai (selambu). Perbuatan tersebut telah dilarang dalam agama. Selain menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hal tersebut menyerupai kebiasaan orang-orang kafir dan juga termasuk membuang-buang harta. Sementara hal itu sama sekali tidak memberikan manfaat kepada penghuni kubur, lebih dari itu menjadi fitnah bagi yang masih hidup.

2. Beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla di sisi kuburan, seperti memohon hajat, berdzikir dan shalat di sisi kubur.
Beberapa contoh ibadah yang lagi marak dilakukan di atasnya:
a. Shalat, sesungguhnya ia merupakan ibadah yang sangat mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan syari’at. Namun jika dilakukan di wilayah kuburan, maka itu terlarang. Ada banyak hadits shahîh yang melarang shalat di atas kubur baik mengadap ke kuburan ataupun tidak (yakni menghadap ke kiblat). Diantaranya :

1. Hadits Abu Martsad al Ghanawi , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَتُصَلُّوا إِلَى الْقُبُور

Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur [HR. Muslim]

2. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَيْنَ الْقُبُورِ

Sesungguhnya Nabi Muhammad melarang shalat diantara kuburan-kuburan. [HR. al Bazzar no. 441, ath Thabrani di al Ausath 1/280]

3. Hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu anhu :

الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

Bumi dan seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” [HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah]

b. Memotong hewan kurban di atasnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَعَقْرَ (أَي عِنْدَ الْقَبْرِ) فِي الإِسْلاَمِ

Tidak ada sesembelihan di atas kuburan dalam Islam. [HR. Abu Dawud 2/71, Ahmad 3/197, dari sahabat Anas Radhiyallahu anhu]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menyembelih sembelihan di atas kubur merupakan perbuatan yang dilarang, sesuai kandungan hadits Anas Radhiyallahu ah .” [al-Majmû’, 5/320]

c. Sengaja membaca al-Qur’ân, berdo’a, bernadzar ataupun jenis ibadah lainnya di sisi kuburan.

Semua perbuatan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seandainya perkara itu baik tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti akan menyampaikannya kepada para sahabat dan merekalah yang lebih dulu mengamalkannya.

Seharusnya masjid-masjid dan rumah-rumah kita sendirilah yang lebih pantas untuk diramaikan dengan berbagai macam ibadah, bukan makam atau perkuburan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُم

Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, akan sampai kepadaku [HR. Abu Dawud]

Muslim meriwayatkan dari Jundub bin Abdullah Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Lima hari sebelum Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, saya mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ فَإِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً, لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً, أَلاَ وَ إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوْا القُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.

Sungguh, aku berlindung kepada Allâh dengan berlepas diri dari mempunyai seorang khalîl (sahabat setia) dari antara kamu, karena sesungguhnya Allâh telah menjadikan aku sebagai khalîl. Seandainya aku mengangkat seorang khalîl dari umatku, niscaya aku akan memilih Abu Bakar sebagai khalîl. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan-kuburan nabi mereka sebagai tempat ibadah. Maka janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku melarang kamu dari hal itu.[21]

Menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup membangun masjid di atas kuburan dan juga mencakup menjadikan kuburan sebagai tempat sujud (ibadah) ataupun berdo’a walaupun tidak ada bangunan di atasnya. Kecuali berdo’a untuk si mayit, karena inilah yang dianjurkan dalam agama. [Lihat Ahkâmul Janâ’iz, hlm. 279 karya asy Syaikh al-Albani dan al Qaulul Mufîd 1/396]

Adapun menjadikan penghuni kubur sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla juga termasuk amalan bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

3. Beribadah kepada penghuni kubur.
Sekarang ini banyak sekali makam-makam yang dikunjungi ratusan bahkan ribuan orang perharinya. Para peziarah datang berduyun-duyun dari seantero negeri seperti manusia hendak pergi haji. Mereka dengan khusyu’, tunduk dan takut bahkan tidak sedikit dari mereka yang menangis memohon kepada penghuni kubur. Mereka meminta rezeki, jodoh, jabatan, atau ketika ditimpa musibah mereka menyembelih sembelihan untuk penghuni makam tersebut. Inilah hakekat kesyirikan yang dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Ya Allâh , janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allâh), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allâh terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid [HR. Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Referensi:
1- Dirâsatun fit Tasawwuf , Ihsan Ilahi Zhahir
2- Tahdzîrus Sâjid, Syaikh al-Albaani.
3- Ahkâmul Janâiz, Syaikh al-Albaani.
4- al-Jadîd fii Syarhi Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Abdulaziz al-Qar’awi.
5- Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
6- Mukaddimah Ibnu Khaldun.
7- Ighâtsatul Lahfân, Ibnul Qayyim.
8- al-Jamâ’ât al-Islâmiyyah fi Dhauil Kitâb was Sunnah, Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilali.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tanbîhul Mughtaribin, asy-Sya’rani, hlm. 34-35.
[2]. ath-Thabaqatul Kubra, asy-Sya’rani I/28.
[3]. Tadzkiratul Auliyâ’ , al-Aththar hlm. 171.
[4]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah X/406
[5]. al-Ibriz, ad-Dabbagh, hlm. 13 cetakan lama
[6]. HR a-Bukhâri (lihat Fathul Bâri I/435 dan VI/no:3453 dan 3454). Imam Muslim no:5301)
[7]. al-Umm (1/278).
[8]. Siyar A’lâmin Nubâlâ 10/16
[9]. al-Fatâwâ 27/167,168
[10]. HR. al Bukhâri (1/15) dan Muslim (1/375).
[11]. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir( 4/35).
[12]. Rasâ-il Ikhwânus Shafâ IV/199.
[13]. Thabaqât ash-Shûfiyah, as-Sulami, hlm. 85.
[14]. Dia adalah Muhyiddin bin Arabi ath-Thâ’i, bukan Abu Bakar Ibnul Arabi rahimahullah
[15]. Mukaddimah, Ibnu Khaldun, hlm. 473.
[16]. Minhajus Sunnah Nabawiyah, I/10-11.
[17]. Ibid (I/20-21).
[18]. Yakni Daulah Ubaidiyah yang menamakan diri mereka -secara dusta dan bohong- al-Fâthimiyyah.
[19]. Ighâtsatul Lahfân min Mashâyidis Syaithân, II/266-267.
[20]. Dirâsatun fit Tasawwuf, Ihsan Ilahi Zhahir.
[21]. HR Muslim no:532.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4061-pengagungan-kubur-dalam-pandangan-kaum-sufi.html